( Depok, RUMAH PELANGI DAYCARE )
Punya anak yang pemberani, cepat bergaul dengan orang, bisa cepat cair dalam lingkungan luar memang impian semua orang tua, tak terkecuali saya. Namun, sampai sejauh ini, si sulung belum 100% bisa seperti itu. Bahkan, terkadang saya dibuatnya heran dengan beberapa tingkahnya.
Punya anak yang pemberani, cepat bergaul dengan orang, bisa cepat cair dalam lingkungan luar memang impian semua orang tua, tak terkecuali saya. Namun, sampai sejauh ini, si sulung belum 100% bisa seperti itu. Bahkan, terkadang saya dibuatnya heran dengan beberapa tingkahnya.
Suatu ketika saya dan suami
mengajaknya jalan-jalan ke sebuah perumahan. Kebetulan di sana pengembang
perumahannya mengadakan promo harga rumah murah dengan lomba menyusun puzzle
untuk anak-anak.
“Itu, itu, kakak ngapain,
Bunda?”tanya si sulung.
“Mereka mau bermain pasang
puzzle, Sayang,” jawab saya sengaja menggunakan kata bermain daripada lomba
untuk menumbuhkan motivasi si sulung untuk ikut.
“Kakaknya banyak ya?”
“Iya, Mas mau ikut bermain?”
“Nggak!” jawab si sulung.
“Kenapa?”
“Nggak mau, orangnya banyak. Aku
main sendiri saja!”
Mendesah? Iya, tapi terus begitu
juga takkan menyelesaikan masalah. Hampir setiap hari saya selalu mengajak si
sulung beserta adiknya (hiks, kalau adiknya kayaknya tipenya beda dibanding
kakaknya) ke luar rumah, entah mengunjungi daycare, silaturahmi ke rumah teman
yang punya anak kecil, jalan-jalan ke bank, stasiun, toko buku, ngaji, calon
playgroup tempatnya nanti bermain, masjid, dsb. Namun, si sulung masih begitu. Loadingnya lama. Sampai di rumah orang, ya begitu, nempel
terus sama saya sambil melihat teman-teman seusianya sedang bermain. Sekitar 1
jam kemudian si sulung baru bisa berbaur.
Ketika trial di playgroup,si
sulung pun di hari pertama juga tak mau berpisah dari saya. Ada waktu sekitar
30 menit anak-anak diajak gurunya bermain di sentra rancang bangun. Saya
berpikir ini adalah mainan favorit si sulung setiap harinya. Tak mau menyentuh
juga. Si sulung hanya melihat teman-temannya bermain. Jelang 10 menit kegiatan
akan berakhir si sulung baru mau bermain dan membantu gurunya merapikan mainan.
2 hari berikutnya, si sulung menangis ketika saya tinggal. Ketika pulang saya
jemput, yang terlontar dari mulutnya,”Bunda, ayo pulang!” Padahal, sesampainya
di rumah si sulung menceritakan semua kejadian yang dia alami di playgroup
dengan senangnya.
Di arena permainan seperti yang
biasanya ada di mall-mall, si sulung begitu lagi. Tak mau menyentuh sarana
bermain yang ada di sana. Dia hanya mengamati temannya loncat-loncat, main
plorotan, dsb, habis itu pulang dan bercerita. Di rumah dan di atas kasur si
sulung menyalurkan energi tubuhnya dengan loncat-loncat, dan di taman perumahan
dengan ditemani bundanya ini dia baru bermain plorotan sendirian.
Apakah saya malu punya anak
demikian? Tidak, justru saya bangga punya anak jago kandang. Dari semua
peristiwa yang terjadi selama ini saya menjadi tahu memang begitulah karakter
si sulung. Kecerdasan visual, linguistic, dan intrapersonalnya lebih menonjol
dibandingkan dengan kecerdasan interpersonal dan body kinestetiknya. Dengan
pendekatan dominansi kecerdasan ini pula saya mengajak si sulung untuk meningkatkan kecerdasan dia yang belum
menguat.
Si sulung memang tak terlalu suka
bermain plorotan dan sejenisnya. Namun, jika melihat gambar plorotan dia suka.
Saya ajak dia berselancar google untuk melihat betapa banyak gambar plorotan.
Tanpa saya suruh pun dia melanjutkan bercerita banyak hal tentang gambar-gambar
tersebut. Singkat cerita, dari gambar tersebut si sulung menangkap makna bahwa
bermain plorotan asyik jika dilakukan bersama-sama teman yang lain. Pelan tapi
pasti, sekarang si sulung sudah bisa lebih cepat berbaur bermain bersama
teman-temannya untuk main plorotan, ayunan, lari-lari keliling perumahan. Ya,
meski masih harus terlihat saya dari kejauhan. Atau saya ajak dia ke toko buku.
Awalnya dia memang suka melihat buku-buku yang ada. Dibuka halamannya sambil
terus saja bercerita apa yang ada di dalamnya. Lama-lama dia mencari kenalan
untuk diajak bermain dan kejar-kejaran di sana. Saya dan suami juga heran
karenanya. Jika disuruh kenalan di awal si sulung malah takberkenan.
Anak saya jago kandang? Biarkan
saja. Seiring waktu berjalan dengan tetap diberikan stimulus yang tepat dengan
cara yang tepat, anak akan memaknai sendiri bahwa hidupnya tak bisa sendiri.
Sekarang, biarkan saja anak heboh di dalam meski di luarnya masih malu-malu.
Dia hanya butuh kesiapan dan kelekatan yang lebih lagi dengan orang tuanya agar
bertambah kepercayaan dirinya. Anak jago kandang? Ehm, jujur, sebenarnya juga
menyenangkan. Orang-orang akan berkata,”Anaknya pintar ya, anteng, nggak bikin
orang teriak-teriak jika diajak keluar. Ibunya juga bisa enak ikut seminarnya,
nggak rewel minta pulang!” Hiks, padahal kalau di dalam rumah, aktifnya si
sulung terbilang luar biasa. Tak mengapa, semua ada masanya. Tugas orang tua
terus mengasahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar